Sah kah Berkurban Untuk Orang Yang Sudah Meninggal? – Sahabat muslim yang di rahmati Allah SWT, salah satu keistimewaan bulan Dzulhijjah adalah terletak pada perintah kurban. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فصل لربك وانحر
“Maka shalatlah kamu untuk Tuhanmu dan berkurbanlah!” (Qs. Al Kautsar : 2)
Ibadah kurban pada dasarnya disyariatkan bagi orang yang masih hidup. Orang yang sudah meninggal sudah tidak terbebani lagi perintah dan syariat agama.
Menurut pendapat syaikh Muhmmad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata,
الأصل في الأضحية أنها مشروعة في حق الأحياء كما كان رسول الله صلى الله عليه وسلّم وأصحابه يضحون عن أنفسهم وأهليهم ، وأما ما يظنه بعض العامة من اختصاص الأضحية بالأموات فلا أصل له
“Hukum asal kurban disyariatkan bagi orang hidup sebagaimana yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Mereka berkurban atas nama diri mereka dan keluarganya. Adapun yang diyakini sebagian orang awam bahwa kurban itu khusus bagi yang sudah wafat maka itu tidak ada dasarnya.”
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam mengatakan yang serupa, bahwa pada dasarnya kurban itu disyariatkan bagi orang yang masih hidup. (Taisir al-‘Allam Syarh ‘Umdah al-Ahkam: 360)
Pertanyaannya, Sahkah Berqurban untuk orang yang sudah meninggal dunia?
Dikutip dari tulisan Ustad Badrul Tamam, bahwasanya jika orang yang hidup berkurban atas nama orang yang sudah meninggal maka sah dan berpahala besar. Kurban tersebut sebagai bentuk sedekah dari orang hidup untuk orang mati.
Adapun berkurban atas nama orang yang sudah meninggal ada tiga macam kategori :
Kategori pertama,
Ikut meniatkan orang yang sudah meninggal dalam (pahala) kurban orang yang hidup. Sebagai contoh, seseorang berkurban atas namanya dan keluarganya. Dirinya berniat memasukkan keluarganya yang masih hidup dan sudah meninggal dalam pahala kurbannya tersebut. Apakah Ini boleh? Boleh. Kurban semacam ini yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saat berkurban atas nama-Nya dan keluarganya; masuk di dalamnya orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki beberapa anak laki-laki dan perempuan, para istri, dan kerabat dekat yang ia cintai, yang meninggal dunia mendahuluinya. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkurban secara khusus atas nama salah satu diantara mereka. Nabi tidak pernah berkurban atas nama pamannya Hamzah, istrinya Khadijah juga Zainab binti Khuzaimah, dan tidak pula untuk tiga putrinya dan anak-anaknya radliallahu ‘anhum. Andaikan ini disyariatkan, tentu akan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam bentuk perbuatan maupun ucapan. Akan tetapi, seseorang hendaknya berkurban atas nama dirinya dan keluarganya. (Syarhul Mumthi’, 7:287).
Kategori Kedua :
Berkurban atas nama orang yang sudah meninggal sebagai pelaksanaan wasiatnya. Hukum menunaikan wasiat kurban ini adalah wajb, kecuali orang tersebut tidak memiliki kemampuan.
Dalil dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَآ إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 181)
Ibn Utsaimin mengatakan,
“Berkurban atas nama mayit, jika dia pernah berwasiat yang nilainya kurang dari sepertiga hartanya, atau dia mewakafkan hewannya maka wajib ditunaikan…” (Risalah Fiqhiyah Ibn Utsaimin, Ahkam Udhiyah)
Syekh Ibn Utsaimin juga mengatakan, Karena Allah melarang untuk mengubah wasiat, kecuali jika wasiat tersebut adalah wasiat yang tidak benar atau wasiat yang mengandung dosa, seperti wasiat yang melebihi 1/3 harta atau diberikan kepada orang yang kaya.
Allah berfirman:
فَمَنْ خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“(Akan tetapi) Barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 182).
Kategori Ketiga :
Berkurban khusus untuk orang yang sudah meninggal. Seperti seseorang yang menyembelih seekor hewan kurban atas nama bapaknya atau ibunya yang sudah wafat. Ini termasuk berkurban yang dibolehkan. Fuqaha’ Hambali berpendapat bahwa pahalanya akan sampai kepada orang yang telah meninggal dan bermanfaat untuknya. Ini disamakan kedudukannya dengan bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia dan berhaji atas nama orang tersebut.
Namun sejumlah ulama berpendapat bahwa mengkhususkan kurban untuk orang yang sudah meninggal bukan termasuk petunjuk dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Artinya bukan sifat kurban terbaik yang harus dipopularkan. Karena beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah berkurban sendirian (khusus) bagi orang yang sudah meninggal. Beliau tidak pernah berkurban secara khusus atas nama pamannya yang bernama Hamzah, padahal beliau termasuk salah kerabatnya yang paling istimewa di matanya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga tidak pernah berkurban atas nama anak-anak beliau yang telah meninggal saat beliau masih hidup. Jumlah mereka tidak sedikit; yaitu 3 putri yang sudah menikah dan 3 orang putra yang masih kecil.
Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga tidak pernah berkurban atas nama Khadijah sebagai istri tercintanya. Tidak pernah ditemukan pula ada seorang sahabat yang hidup di masa beliau pernah berkurban untuk orang tua atau kerabatnya yang sudah meninggal.
Karenanya, menghususkan kurban untuk orang yang sudah meninggal (atas namanya) saja bukan perkara yang sangat dianjurkan. Karena pada dasarnya, perintah berkurban itu ditujukan kepada orang-orang yang masih hidup untuk (atas nama) diri mereka dan keluarganya. Kendati tetap boleh dan sah kurban atas nama orang yang telah meninggal dunia.