Berhati-hatilah Terhadap Pujian – Sahabat muslim, tentang pujian siapa sih yang tak suka dipuji? Apalagi di depan khalayak. Tapi, ternyata pujian juga bisa berbahaya loh. Lah, kok bisa? Dalam sebuah kisah menyiratkan tentang Hammam bin Al-Harits menceritakan bahwa seseorang memuji Utsman. Miqdad lalu duduk berlutut. Al-Miqdad adalah seseorang yang bertubuh besar. Akhirnya ia menaburkan batu kerikil kepada orang yang memuji tadi. “Mengapa hal itu kamu lakukan?” tanya Utsman. “Al-Miqdad menjawab, bahwa Nabi bersabda, “Jika kalian melihat ada orang yang memuji orang lain, maka taburkanlah debu ke mukanya.”
Dalam riwayat lain menyebutkan bahwa Ibnu Bathal berkata, “Larangan bersikap berlebih-lebihan di dalam memuji orang lain berlaku terhadap orang yang dikhawatirkan akan bersikap ‘ujub (membanggakan diri), apabila dipuji. Bila itu terjadi, dikhawatirkan amal dan kebaikannya menjadi sia-sia.
Karena itulah para ulama menakwilkan hadits:
“Taburkanlah debu pada wajah orang-orang yang memuji.”
Bahwa, yang dimaksudkan adalah orang yang memuji orang lain di hadapan mereka secara berlebihan. Umar ra. bahkan mengatakan bahwa memuji, berarti menyembelih.
Subhanallah, ternyata pujian itu sangat berbahaya. Ia, flashback ke diri kita saja dulu, terkadang saat kita mengerjakan suatu kebaikan, misalnya sedekah atau shalat, yang awalnya kita niatkan hanya karena Allah, tiba-tiba ada seorang teman yang ketus “Ciyeeee,,,,” “MasyaAllah solehnya.” “Rajinnya…” “Baik bangettt…” dan macam-macam pujian lainnya yang mebuat kita besar kepala, tiba-tiba niat yang awalnya lillah, eh kok berubah haluan jadi linnas, tiba-tiba diri merasa paling ter….., astagfirullah padahal tiada daya dan upaya selain dari-Nya, kebaikan yang kita lakukan pun adalah izin dan pertolongan Allah.
Pantas saja para sahabat terdahulu jika melaukan amal kebaikan, mereka lebih memilih untuk sembunyi-sembunyi, mereka menghindari popularitas. Sebab, menurut seorang ulama yang bernama Mutharrif bin Abdillah, “Tidak ada seorang pun yang memujiku kecuali diriku merasa semakin kecil.”
Dalam karya Dr. Sa’id Bin Ali Al-Qahthani yang berjudul “Ya Rabbi… Selamatkan Lisanku” menorehkan pesan indah tentang boleh memuji asal.
Boleh memuji asal, tidak ragu lagi bahwa pujian merupakan salah satu bahaya lisan yang membahayakan. Karena, pujian bisa berujung pada fitnah terhadap orang yang dipuji (merasa besar kepala), perilaku ceroboh, dan melewati batas. Tetapi jika hal-hal negatif tersebut dijamin tidak akan terjadi, maka pujian diperbolehkan.
Dalam shahih-nya, Imam Al-Bukhari rahimahullah memberikan bab khusus berjudul “Bab Orang yang Memuji Saudaranya Berdasarkan Fakta yang Sesungguhnya.” Di situ, Imam Al-Bukhari rahimahullah menerangkan bahwa Sa’d berkata, “Aku tidak pernah mendengar Nabi saw. berkomentar terhadap seseorang pun yang masih berjalan di muka bumi bahwa dia termasuk penghuni surga kecuali terhadap Abdullah bin Salam.”
Musa bin Uqbah rahimahullah membawakan riwayat dari Salim yang berasal dari bapaknya, bahwasanya Rasulullah saw. ketika menyebutkan tentang kain sarung yang terjurai (hingga ke bawah mata kaki; isbal). Abu Bakar ra. berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kain sarungku kadang terjuai dari salah satu sisinya.” Beliau bersabda, “Kamu tidak termasuk golongan mereka.”
Memuji seperti ini dibolehkan, dan dikecualikan dari kaidah yang sebelumnya. Jadi, yang penting, pujian tidak boleh berlebihan, dan harus diyakini bahwa orang yang dipuji tidak akan menjadi ‘ujub (berbangga diri) dan tertimpa fitnah. Terdapat banyak hadits tentang keutamaan dan kemuliaan para sahabat yang menguatkan hal ini. Masing-masing dari mereka diberikan sifat yang bagus. Seperti sabda Nabi saw. kepada Umar, “Setan tidak berjumpa denganmu di suatu jalan kecuali dia akan memilih jalan lain selain jalan yang kau tempuh.” (HR. Muslim IV/1864, Al-Bukhari yang dicetak bersama Fath Al-Bari X/479).
Seseorang boleh dipuji dengan sesuatu, sesuai dengan keadaan yang memang terjadi pada dirinya. Rasulullah saw. seringkali dipuji dalam syair, khutbah dan pembicaraan umum. Toh, beliau tidak memerintahkan untuk menebarkan tanah ke wajah orang yang memujinya.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Banyak hadits di dalam dua kitab shahih (shahihayn) yang isinya memuji seseorang langsung di hadapannya. Dalam hal ini, ulama berpendapat bahwa titik temu bagi dua hal (antara larangan dan pembolehan pujian) adalah bahwa larangan berlaku untuk pujian yang serampangan, pujian yang ditambahi dengan dusta atau memuji seseorang yang dikhawatirkan akan memunculkan rasa sombong pada diri orang tersebut, seandainya ia dipuji.
Tetapi, jika hal-hal yang dikhawatirkan seperti di atas tidak terjadi, maka pujian diperbolehkan, meskipun dilakukan di hadapannya. Pembolehan ini bisa jadi karena alasan bahwa seseorang yang dipuji tadi memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi, keteguhan akal dan kemapanan ilmu. Bahkan, hukumnya menjadi sunnah jika dalam pemujian terhadap dirinya akan memberikan stimulan (penyemangat) untuk berbuat kebaikan, menambah amal dan konsisten dalam kebaikan tersebut, dan menjadikan kebaikan tersebut sebagai panutan. Wallahu a’alam bishshawab.
Saudaraku, boleh memuji dan dipuji asalkan jangan berlebihan dan tidak menimbulkan berbagai penyakit hati. Sebelum memuji dan saat dipuji pikirkan terlebih dahulu apakah Allah ridho saat kita melontarkan pujian dan saat kita dipuji? Jangan terlena, sebab terkadang kita menganggap pujian itu hal yang biasa tapi toh, kita tidak tahu kedalaman hati seseorang.
Ada sebuah do’a yang diucapkan Abu Bakar ra. Ketika beliau dipuji,
اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ
Allahumma anta a’lamu minni bi nafsiy, wa anaa a’lamu bi nafsii minhum. Allahummaj ‘alniy khoirom mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa ya’lamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun.
[Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka] ( Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4: 228, no.4876. Lihat Jaami’ul Ahadits, Jalaluddin As Suyuthi, 25: 145, Asy Syamilah).